Aku terhenyak. Seketika jantungku
serupa terjun bebas dari tebing tempatku berdiri saat ini. Tebing. Tebing penantianku,
tempatmu mengamatimu. Iya, ketika aku berdiri disana, aku merasa nyaman. Kamu serupa
senja yang selalu aku tunggu, dan takkan mudah bagiku untuk memalingkan muka
darimu. Aku selalu ingin menatapmu, mengamatimu. Di tebing ini, aku leluasa
memandangimu, meski ku tahu, bukan hanya aku yang memandangimu. Kamu memantulkan
sinar kehangatan untukku. Aku nyaman. Meski terkadang sinarmu menyilaukan, tapi
entah kenapa kutemukan keteduhan pada dirimu, pada tulisanmu juga jalan
pikirmu. Kamu senja, selalu kunantikan. Tapi entah mengapa, ketika aku tengah
nyaman di tebing ini, melalui pantulan jinggamu, kutemukan siluet lain disana.
Kala senja, matahari tenggelam
sempurna di ufuk sana. Matahari di hatiku juga tenggelam sempurna, ketika
kulihat siluet lain membayangi sosokmu yang tengah mematung disana. Dalam remang
senja, aku mampu mengenali siapa yang tengah membayangimu. Seseorang yang ku
kenal betul suaranya. Senja, engkau tengah bercakap manja dengannya. Aku hanya
penonton, perasa. Dan saat itu juga,
jantungku terjun dari tebing ini hingga ke dasar sungai dan mengalirkannya
entah kemana.
Ini juni yang sendu, ada hati
yang tengah menggebu, juga beradu. Bukan dua, ataupun empat. Boleh jadi seribu.
Aku? Seperti biasa, hanya penonton. Hatiku menggebu-gebu ketika kudapati senja
yang tengah memanja memantulkan jingganya pada siluet itu. Tapi hati mereka
tengah beradu. Aku muak, ucapku. Tapi untuk apa?
Aku serupa usang. Dan engkau yang
baru. Usang malang memilih pulang. Sebab si baru lebih menawan, lebih terlirik.
Usang tak melawan, meski dia panik. Tapi usang memilih untuk kembali menjadi
relawan, sebab ia ingin tetap berkawan. Beberapa bulan untukku sama dengan 24
jam bagimu.
Aku menghela napas. Kisah macam
ini memang kembali terulang. Jauh-jauh hari sebelum ini, ada kisah lainnya yang
lebih menyakitkan. Tapi ini paling nyelekit. Kisah ini serupa episode kesekian
dalam kehidupan ku. Air mataku menyembur keluar ketika kusadari ini. Membahasi pipiku.
Deras. Seperti hujan yang turun setelah kemarau panjang.
Tapi, meski demikian, aku tetap
mengagumi senja, tetap menjadi pengamatnya. Meski kini ia hanya mampu menghangatkan
punggungku saja, meletakkan keteduhan di bahuku dan ia hanya bisa memantulkan
jingga di punggungku, bukan mataku lagi.
Apapun itu, aku masih bisa
merasakan keindahan aksaramu, meski aku enggan berbalik.
-Oktober dalam Juni-
-Oktober dalam Juni-
sedap nih
BalasHapus