A
|
da degup kencang, juga perasaan yang
beradu dengan potongan-potonan memori terdahulu yang menyeruak mengiringi
setiap pertemuan anatara dua sosok itu, baik disengaja ataupun tidak. Entah
kenapa elemen-elemen itu masih kurasakan tiap kali menemukan satu paras yang
tak asing lagi dalam bingkai mataku. Entah kenapa kali ini terasa semakin berat
untuk terus melangkah kehadapannya. Ada kebekuan yang meyelinap masuk urat-urat
lenganku setiap kali ingin ku jabat tangan itu. Tangan yang kerap kali
memecahkan batu bata, atau sekedar men-dribble
bola basket, juga tangan yang lebih sering bercumbu bersama komputer
jinjingnya.
“Hallo, apa kabar?”
Hanya tiga kata itu yang mampu
mencairkan kebekuan ini. Tapi…masih seperti dulu. Bahkan aku belum mampu
menatap matanya untuk lebih lama. Entah kenapa.
Kamu tahu? Matamu yang tajam layaknya
pisau yang terus-menerus diasah belum mampu ku salami lebih dalam. Dari dulu.
Dan kamu tahu akan hal itu. Kamu tahu? Bulu matamu bak padang ilalang. Lebat.
Bahkan aku bias berlama-lama untuk terus menjamahi bulu matamu itu. Dua hal
yang selalu memaksaku mencuri-curi pandang, memaksaku untuk terus menatap lamat
sosokmu secara sembunyi-sembunyi. Aku tersadar dari ketidaksadaranku. Aku
mengerti akan ketidakmengertianku.
Maka, ku putuskan untuk berlari
sekencang-kencangnya. Satu persatu potongan-potongan ingatan tentangmu gugur
dimakan waktu di setiap perjalanan pelarianku.
Tapi, tiba-tiba segala hal yang telah
ku tinggalkan dan tanggalkan kini menyembur kembali. Aku berpapasan di tengah
pelarianku. Tak ada kebekuan yang menyelinap urat-urat lenganku, tapi kini
kebekuan itu bermigrasi ke dalam tempurung lututku. Langkahku goyah dibuatnya.
Sungguh lutut ini terasa lunglai saat ku temukan sosok itu tengah bersama sosok
baru yang ada disampingnya. Dan dia menemukanku tengah terpaku kaku. Dan aku menemukan senyum simpul lyaknya orang
yang ditemukan keberadaanya saat permainan petak umpat. Dia tersenyum. Tapi aku
tahu, itu bukan senyum kemenangan. Ada senyum getir yang terparkir di wajahnya.
Dan ini pemandangan yang membuat pedih dua organ tubuh sekaligus: mata dan
hati.
Aku tahu ini telah berakhir sekian
lama. Dan harusnya aku tak berhak untuk menyimpan rasa yang kata orang ini
cemburu namanya. Tapi entah kenapa rasa itu masih bersarang. Lucunya, Tuhan
mengijinkanku untuk merasakan hal ini hingga kedua kalinya. Di tempat yang sama
pula. Sejujurnya ini nyelekit. Sebelas dua belas nyelekitnya ketika hari
pertama pms.
Hingga suatu hari, kau merasakan sakit
yang teramat sakit, bukan? Orang yang teramat kau banggakan itu menyerangmu
teramat perih. Aku tak peduli. Terlebih pura-pura untuk tak peduli.
Kau memutuskan untuk menghubungiku,
mengajak untuk bertemu lagi. Lalu ku iya-kan permintaan klasik yang sering kau
lontarkan setiap kali kau tengah sendiri.
Kita bertemu. Dalam suasana gemricik
rintik hujan. Itu malam minggu wagu bagiku. Setelah sekian lama taka da
bincang-bincang berdua. Kini kita duduk berhadapan. Ditemani oleh es kelapa
muda di tengah gemricik hujan. Es dalam hujan. Bukankah itu menambah kebekuan
kita?
Aku memulai pembicaraan. Dan kau mulai
bercerita banyak. Tentangnya, juga tentang kehidupanmu. Kau terlalu
mencintainya, bukan? Terlalu mengagung-agungkannya. Lalu kau dibuat terlalu
sakit olehnya. Ini memang perih, seringkali orang yang kita cintai teramat
dalam, terlalu kita bangga-banggkan adalah orang juga menyakiti kita teramat
dalam.
Kau terdiam menatapku. Tatapan yang
sama seperti saat kita masih bersama dan engkau jadi yang pertama. Mengisi
hari-hariku, juga hatiku.
Setelah pertemuan itu, kita tak lagi
bertukar cerita. Tak ada lagi pertemuan-pertemuan lainnya. Hingga ku dengar,
kini kau tak sendiri, sedang aku masih betah. Ingin sekali aku mengusir
bayangmu yang masih menjadi hantu di sudut pikirku.
Sampai tiba saatnya kita berjumpa
kembali dalam sebuah pertunjukan seni. Kita bertegur sapa. Kita berjabat
tangan. Kemudian aku melangkah pergi, duduk untuk menonoton pertunjukan. Ketika
aku sedang menikmati pertunjukan, ada sengatan yang tiba-tiba menyengatku.
Ternyata aku duduk tepat di belakang seseorang sang pemilik hatinya yang baru.
Entah apa maunya Tuhan. Aku selalu
mengalami hal-hal lucu yang berujung nyelekit. Kali ini aku harus belajar untuk
tak peduli. Sebab aku sedang dalam perjalanan untuk melupakanmu. Sedang dalam
pelarianku. Tapi dalam pelarian ini, Tuhan selalu menunjukkan hal-hal lucunya.
Terima kasih. Aku kuat. Selalu kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar