Senin, 20 Oktober 2014

Juni Sendu, Ni.


Aku terhenyak. Seketika jantungku serupa terjun bebas dari tebing tempatku berdiri saat ini. Tebing. Tebing penantianku, tempatmu mengamatimu. Iya, ketika aku berdiri disana, aku merasa nyaman. Kamu serupa senja yang selalu aku tunggu, dan takkan mudah bagiku untuk memalingkan muka darimu. Aku selalu ingin menatapmu, mengamatimu. Di tebing ini, aku leluasa memandangimu, meski ku tahu, bukan hanya aku yang memandangimu. Kamu memantulkan sinar kehangatan untukku. Aku nyaman. Meski terkadang sinarmu menyilaukan, tapi entah kenapa kutemukan keteduhan pada dirimu, pada tulisanmu juga jalan pikirmu. Kamu senja, selalu kunantikan. Tapi entah mengapa, ketika aku tengah nyaman di tebing ini, melalui pantulan jinggamu, kutemukan siluet lain disana.
Kala senja, matahari tenggelam sempurna di ufuk sana. Matahari di hatiku juga tenggelam sempurna, ketika kulihat siluet lain membayangi sosokmu yang tengah mematung disana. Dalam remang senja, aku mampu mengenali siapa yang tengah membayangimu. Seseorang yang ku kenal betul suaranya. Senja, engkau tengah bercakap manja dengannya. Aku hanya penonton, perasa.  Dan saat itu juga, jantungku terjun dari tebing ini hingga ke dasar sungai dan mengalirkannya entah kemana.
Ini juni yang sendu, ada hati yang tengah menggebu, juga beradu. Bukan dua, ataupun empat. Boleh jadi seribu. Aku? Seperti biasa, hanya penonton. Hatiku menggebu-gebu ketika kudapati senja yang tengah memanja memantulkan jingganya pada siluet itu. Tapi hati mereka tengah beradu. Aku muak, ucapku. Tapi untuk apa?
Aku serupa usang. Dan engkau yang baru. Usang malang memilih pulang. Sebab si baru lebih menawan, lebih terlirik. Usang tak melawan, meski dia panik. Tapi usang memilih untuk kembali menjadi relawan, sebab ia ingin tetap berkawan. Beberapa bulan untukku sama dengan 24 jam bagimu.
Aku menghela napas. Kisah macam ini memang kembali terulang. Jauh-jauh hari sebelum ini, ada kisah lainnya yang lebih menyakitkan. Tapi ini paling nyelekit. Kisah ini serupa episode kesekian dalam kehidupan ku. Air mataku menyembur keluar ketika kusadari ini. Membahasi pipiku. Deras. Seperti hujan yang turun setelah kemarau panjang.
Tapi, meski demikian, aku tetap mengagumi senja, tetap menjadi pengamatnya. Meski kini ia hanya mampu menghangatkan punggungku saja, meletakkan keteduhan di bahuku dan ia hanya bisa memantulkan jingga di punggungku, bukan mataku lagi.
Apapun itu, aku masih bisa merasakan keindahan aksaramu, meski aku enggan berbalik.

-Oktober dalam Juni-

1 komentar: