Jumat, 06 Februari 2015

Gerilya Sang Pujangga

Kamu sempat bilang, "Jangan menyerah". Dua kata sederhana itu menyembur saat aku tengah bercerita tentang temanmu. Lalu ku balas bilang, "Aku tak bisa sepertimu yang terus memaksakan apa yang tak bisa dipaksakan".
"Kau payah!", tandasnya.
Aku tahu aku payah, aku sadari itu. Aku tahu diri untuk melihat kenyataan. Memang harus ku akui, kamu hebat. Kamu bersikeras di tengah ketidakpastian, meski kau tahu banyak tentang segala kenyataannya.

Sebagai seorang pembaca yang baik, imajimu bercabang. Maka teruslah berjuang! Rangkai setiap harapan-harapan konyol dalam dunia fiksimu ke dalam realitas sejati. Jangan menyerah pada waktu! Jika kau terus berjuang tanpa mengenal rasanya lelah menunggu, waktu yang akan menyerah pada mu.
Seketika beberapa potong kalimat itu membuyarkan lamunanku. Memory ku berputar arah, ke masa dimana aku pernah sangat mengagumimu. Tentulah sebelum kehadiran seseorang yang ku tahu betul sosoknya, seseorang yang sangat kau gilai hingga sekarang. Tapi sebenarnya, kekagumanku padamu tak memudar, sebelum dan sesudah ada dia. Hanya saja aku tahu diri untuk itu. Aku membuang jauh rasa kagum itu. Sebab aku tak menginginkan jeda diantara kita hanya karena keegoisanku, terlebih pada dia.

Hingga tiba dimana aku merasakan hembusan angin baru yang membawa keteduhan, dan dia tidak lain juga seseorang yang kau hapal betul raut mukanya. Sayangnya, aku harus merasakan hal yang sama lagi. Aku menyerah untuk yang ke dua kalinya. Sementara kau masih bersikeras untuk berjuang.

Aku lelah untuk setiap pergolakan rasa ini. Aku lelah untuk tetap melihat semangat perjuanganmu yang kian bergejolak.
Kamu bilang itu semua perjuangan sejati?

Menunggu seseorang yang entah kapan ia akan menolehmu barang semenit. Menunggu seseorang yang selalu asyik mengobrol manja dengan pemilik hatinya yang utuh. Tidakkah kau sedikit menolehku walau itu hanya semenit? Tidakkah kau ingin mendengarku barang dua menit?
Itu bukan perjuangan sejati! Itu kebutaan sejati! Mengutip apa yang dikatakan Dee, kamu memang memilih menjadi tuna netra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang mengobati luka dengan cuka. Bukan dengan obat merah.

Mungkin, sang pujangga masih terlelap dalam tidur panjangnya. Dalam mimpi-mimpi yang ia rangkai sendiri plot-nya. Karena baginya, itu lebib dari indah, meski harus dengan mengigit lidah sendiri. Ia sadar akan hal itu, dan ia tahu itu memang tak mudah. Tapi ia tak mau berubah, ia enggan menjadi pecundang yang menyerah di tengah jalan macam diriku. Ia enggan untuk bangun. Kini ia malah seperti orang kesurupan yang tak peduli apapun di sekitarnya. Ia tak peduli meski ada siluet lain yang menghalangi pandangannya. Ia hanya ingin membangun setiap potongan mimpinya dan menggiringnya ke dunia nyata. Tapi, apa ia tidak sadar? Justru ia adalah siluet yang membayangi dua anak manusia ketika senja tengah memanja.

Terpaksa harus ku bilang, kamu egois! Membayangi mereka tanpa melihat siapa yang ada di sampingnya. Dan harus ku bilang, seseorang yang kau gilai itu juga lebih egois! Dia terus-menerus mengungkungmu dalam sangkar ketidakpastian, dalam sangkar yang dihuni oleh dia dan pemilik hatinya yang utuh. Ketika engkau meminta untuk terbang bebas, dia menahanmu. Dia tak ingin melepasmu, juga pemilik hatinya itu. Dan kau pasrah dimakan ketidakpastian, karena kau terlanjur menikmati setiap rangkaian mimpi itu.

Tak hanya itu, kini kau tak ubahnya prajurit yang terus bergerilya. Pantang menyerah, meski luka perih kau rasa di sekujur tubuhmu.

Apakah sang pujangga akan terbangun dari tidur panjangnya? Tidakkah ia merasa lelah untuk terus-menerus menjadi bayang semu?
Bangunlah..
Jangan cuma jadi sandal jepit yang hanya dipakai sesaat dan sembunyi-sembunyi. Sementara ia lebih sering memakai sepatu kemanapun ia melangkah. Kau hanya alternatif baginya.
Semoga lekas bangun.

Surat Cinta untuk Sang Pujangga yang terus bergerilya.

2 komentar: