Rabu, 24 Juni 2015

Seseorang dengan Bulu Mata Padang Ilalangnya

A
da degup kencang, juga perasaan yang beradu dengan potongan-potonan memori terdahulu yang menyeruak mengiringi setiap pertemuan anatara dua sosok itu, baik disengaja ataupun tidak. Entah kenapa elemen-elemen itu masih kurasakan tiap kali menemukan satu paras yang tak asing lagi dalam bingkai mataku. Entah kenapa kali ini terasa semakin berat untuk terus melangkah kehadapannya. Ada kebekuan yang meyelinap masuk urat-urat lenganku setiap kali ingin ku jabat tangan itu. Tangan yang kerap kali memecahkan batu bata, atau sekedar men-dribble bola basket, juga tangan yang lebih sering bercumbu bersama komputer jinjingnya.
“Hallo, apa kabar?”
Hanya tiga kata itu yang mampu mencairkan kebekuan ini. Tapi…masih seperti dulu. Bahkan aku belum mampu menatap matanya untuk lebih lama. Entah kenapa.
Kamu tahu? Matamu yang tajam layaknya pisau yang terus-menerus diasah belum mampu ku salami lebih dalam. Dari dulu. Dan kamu tahu akan hal itu. Kamu tahu? Bulu matamu bak padang ilalang. Lebat. Bahkan aku bias berlama-lama untuk terus menjamahi bulu matamu itu. Dua hal yang selalu memaksaku mencuri-curi pandang, memaksaku untuk terus menatap lamat sosokmu secara sembunyi-sembunyi. Aku tersadar dari ketidaksadaranku. Aku mengerti akan ketidakmengertianku.
Maka, ku putuskan untuk berlari sekencang-kencangnya. Satu persatu potongan-potongan ingatan tentangmu gugur dimakan waktu di setiap perjalanan pelarianku.
Tapi, tiba-tiba segala hal yang telah ku tinggalkan dan tanggalkan kini menyembur kembali. Aku berpapasan di tengah pelarianku. Tak ada kebekuan yang menyelinap urat-urat lenganku, tapi kini kebekuan itu bermigrasi ke dalam tempurung lututku. Langkahku goyah dibuatnya. Sungguh lutut ini terasa lunglai saat ku temukan sosok itu tengah bersama sosok baru yang ada disampingnya. Dan dia menemukanku tengah terpaku kaku.  Dan aku menemukan senyum simpul lyaknya orang yang ditemukan keberadaanya saat permainan petak umpat. Dia tersenyum. Tapi aku tahu, itu bukan senyum kemenangan. Ada senyum getir yang terparkir di wajahnya. Dan ini pemandangan yang membuat pedih dua organ tubuh sekaligus: mata dan hati.
            Aku tahu ini telah berakhir sekian lama. Dan harusnya aku tak berhak untuk menyimpan rasa yang kata orang ini cemburu namanya. Tapi entah kenapa rasa itu masih bersarang. Lucunya, Tuhan mengijinkanku untuk merasakan hal ini hingga kedua kalinya. Di tempat yang sama pula. Sejujurnya ini nyelekit. Sebelas dua belas nyelekitnya ketika hari pertama pms.
Hingga suatu hari, kau merasakan sakit yang teramat sakit, bukan? Orang yang teramat kau banggakan itu menyerangmu teramat perih. Aku tak peduli. Terlebih pura-pura untuk tak peduli.
Kau memutuskan untuk menghubungiku, mengajak untuk bertemu lagi. Lalu ku iya-kan permintaan klasik yang sering kau lontarkan setiap kali kau tengah sendiri.
Kita bertemu. Dalam suasana gemricik rintik hujan. Itu malam minggu wagu bagiku. Setelah sekian lama taka da bincang-bincang berdua. Kini kita duduk berhadapan. Ditemani oleh es kelapa muda di tengah gemricik hujan. Es dalam hujan. Bukankah itu menambah kebekuan kita?
Aku memulai pembicaraan. Dan kau mulai bercerita banyak. Tentangnya, juga tentang kehidupanmu. Kau terlalu mencintainya, bukan? Terlalu mengagung-agungkannya. Lalu kau dibuat terlalu sakit olehnya. Ini memang perih, seringkali orang yang kita cintai teramat dalam, terlalu kita bangga-banggkan adalah orang juga menyakiti kita teramat dalam.
Kau terdiam menatapku. Tatapan yang sama seperti saat kita masih bersama dan engkau jadi yang pertama. Mengisi hari-hariku, juga hatiku.
Setelah pertemuan itu, kita tak lagi bertukar cerita. Tak ada lagi pertemuan-pertemuan lainnya. Hingga ku dengar, kini kau tak sendiri, sedang aku masih betah. Ingin sekali aku mengusir bayangmu yang masih menjadi hantu di sudut pikirku.
Sampai tiba saatnya kita berjumpa kembali dalam sebuah pertunjukan seni. Kita bertegur sapa. Kita berjabat tangan. Kemudian aku melangkah pergi, duduk untuk menonoton pertunjukan. Ketika aku sedang menikmati pertunjukan, ada sengatan yang tiba-tiba menyengatku. Ternyata aku duduk tepat di belakang seseorang sang pemilik hatinya yang baru.
Entah apa maunya Tuhan. Aku selalu mengalami hal-hal lucu yang berujung nyelekit. Kali ini aku harus belajar untuk tak peduli. Sebab aku sedang dalam perjalanan untuk melupakanmu. Sedang dalam pelarianku. Tapi dalam pelarian ini, Tuhan selalu menunjukkan hal-hal lucunya.
Terima kasih. Aku kuat. Selalu kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar