Kamis, 25 Juni 2015

Ceklis



Setiap ceklis-ceklis yang kau tulis
Selalu membuat hati ini cekit-cekit dibuat linu
Sebab apa? Sebab aku tahu,
Itu bukan untukku, bukan kepadaku

Januari, 2015

Penulis Idamanku itu bernama Arjuna


 
Aku jatuh cinta pada setiap goresan pena mu
Aku jatuh cinta pada setiap rangkaian kata mu
Aku jatuh cinta pada imaji gila mu
Terlebih lagi,
Aku jatuh cinta pada sajak-sajak indahmu

Setiap kata yang kau rangkai
Serupa kumpulan perasaan dalam bingkai-bingkai
Yang kau beri renda nan menjuntai
Agar tak usang menjadi bangkai

 Ingin sekali ku katakan
Ajari aku menggunakan pena
Agar bias kuluapkan
Setiap perasaan-pearasaan yang menjelma

Sesekali, dua kali, beberapa kali, dan seringkali
Tulisanmu membuatku candu
Bagai lebah yang menghisap madu
Diringi alunan-alunan kata merdu
Membuatku merasa betah, entah

Wahai Arjuna,
Tetaplah gila dalam kegilaanmu
Ada dalam barisan kata-katamu
Karena aku takkan lelah membaca imajimu

Srikandi, wanita yang menggilai tulisanmu
Juni, 2015

Dua:Satu


Ada tawa getir dibalik percakapan mereka
Dan ku coba menerka-nerka
Saat malam pukul tujuh
Saat angina tengah bergemuruh
Bukan tawa getir mereka,
Tapi aku
Hanya ada senyum merekah
Yang buatku duduk terpaku


http://instagram.com












Aku tertawa, tersenyum
Meski sebenarnya ini nyelekit
Dua orang tengah berbicara,
Satu orang tengah menahan sakit
Aku hapal betul suara di ujung telpon itu
Aku paham betul ledakan-ledakan perasaan itu
Kalau bisa menangis,
Mungkin akan menangis sejadi-jadinya saat itu juga

Desember, 2014

Rabu, 24 Juni 2015

Seseorang dengan Bulu Mata Padang Ilalangnya

A
da degup kencang, juga perasaan yang beradu dengan potongan-potonan memori terdahulu yang menyeruak mengiringi setiap pertemuan anatara dua sosok itu, baik disengaja ataupun tidak. Entah kenapa elemen-elemen itu masih kurasakan tiap kali menemukan satu paras yang tak asing lagi dalam bingkai mataku. Entah kenapa kali ini terasa semakin berat untuk terus melangkah kehadapannya. Ada kebekuan yang meyelinap masuk urat-urat lenganku setiap kali ingin ku jabat tangan itu. Tangan yang kerap kali memecahkan batu bata, atau sekedar men-dribble bola basket, juga tangan yang lebih sering bercumbu bersama komputer jinjingnya.
“Hallo, apa kabar?”
Hanya tiga kata itu yang mampu mencairkan kebekuan ini. Tapi…masih seperti dulu. Bahkan aku belum mampu menatap matanya untuk lebih lama. Entah kenapa.
Kamu tahu? Matamu yang tajam layaknya pisau yang terus-menerus diasah belum mampu ku salami lebih dalam. Dari dulu. Dan kamu tahu akan hal itu. Kamu tahu? Bulu matamu bak padang ilalang. Lebat. Bahkan aku bias berlama-lama untuk terus menjamahi bulu matamu itu. Dua hal yang selalu memaksaku mencuri-curi pandang, memaksaku untuk terus menatap lamat sosokmu secara sembunyi-sembunyi. Aku tersadar dari ketidaksadaranku. Aku mengerti akan ketidakmengertianku.
Maka, ku putuskan untuk berlari sekencang-kencangnya. Satu persatu potongan-potongan ingatan tentangmu gugur dimakan waktu di setiap perjalanan pelarianku.
Tapi, tiba-tiba segala hal yang telah ku tinggalkan dan tanggalkan kini menyembur kembali. Aku berpapasan di tengah pelarianku. Tak ada kebekuan yang menyelinap urat-urat lenganku, tapi kini kebekuan itu bermigrasi ke dalam tempurung lututku. Langkahku goyah dibuatnya. Sungguh lutut ini terasa lunglai saat ku temukan sosok itu tengah bersama sosok baru yang ada disampingnya. Dan dia menemukanku tengah terpaku kaku.  Dan aku menemukan senyum simpul lyaknya orang yang ditemukan keberadaanya saat permainan petak umpat. Dia tersenyum. Tapi aku tahu, itu bukan senyum kemenangan. Ada senyum getir yang terparkir di wajahnya. Dan ini pemandangan yang membuat pedih dua organ tubuh sekaligus: mata dan hati.
            Aku tahu ini telah berakhir sekian lama. Dan harusnya aku tak berhak untuk menyimpan rasa yang kata orang ini cemburu namanya. Tapi entah kenapa rasa itu masih bersarang. Lucunya, Tuhan mengijinkanku untuk merasakan hal ini hingga kedua kalinya. Di tempat yang sama pula. Sejujurnya ini nyelekit. Sebelas dua belas nyelekitnya ketika hari pertama pms.
Hingga suatu hari, kau merasakan sakit yang teramat sakit, bukan? Orang yang teramat kau banggakan itu menyerangmu teramat perih. Aku tak peduli. Terlebih pura-pura untuk tak peduli.
Kau memutuskan untuk menghubungiku, mengajak untuk bertemu lagi. Lalu ku iya-kan permintaan klasik yang sering kau lontarkan setiap kali kau tengah sendiri.
Kita bertemu. Dalam suasana gemricik rintik hujan. Itu malam minggu wagu bagiku. Setelah sekian lama taka da bincang-bincang berdua. Kini kita duduk berhadapan. Ditemani oleh es kelapa muda di tengah gemricik hujan. Es dalam hujan. Bukankah itu menambah kebekuan kita?
Aku memulai pembicaraan. Dan kau mulai bercerita banyak. Tentangnya, juga tentang kehidupanmu. Kau terlalu mencintainya, bukan? Terlalu mengagung-agungkannya. Lalu kau dibuat terlalu sakit olehnya. Ini memang perih, seringkali orang yang kita cintai teramat dalam, terlalu kita bangga-banggkan adalah orang juga menyakiti kita teramat dalam.
Kau terdiam menatapku. Tatapan yang sama seperti saat kita masih bersama dan engkau jadi yang pertama. Mengisi hari-hariku, juga hatiku.
Setelah pertemuan itu, kita tak lagi bertukar cerita. Tak ada lagi pertemuan-pertemuan lainnya. Hingga ku dengar, kini kau tak sendiri, sedang aku masih betah. Ingin sekali aku mengusir bayangmu yang masih menjadi hantu di sudut pikirku.
Sampai tiba saatnya kita berjumpa kembali dalam sebuah pertunjukan seni. Kita bertegur sapa. Kita berjabat tangan. Kemudian aku melangkah pergi, duduk untuk menonoton pertunjukan. Ketika aku sedang menikmati pertunjukan, ada sengatan yang tiba-tiba menyengatku. Ternyata aku duduk tepat di belakang seseorang sang pemilik hatinya yang baru.
Entah apa maunya Tuhan. Aku selalu mengalami hal-hal lucu yang berujung nyelekit. Kali ini aku harus belajar untuk tak peduli. Sebab aku sedang dalam perjalanan untuk melupakanmu. Sedang dalam pelarianku. Tapi dalam pelarian ini, Tuhan selalu menunjukkan hal-hal lucunya.
Terima kasih. Aku kuat. Selalu kuat.

Sabtu, 14 Februari 2015

Hello, stARS! I'm a Falling Star in Your Friday Night.

If you are staring the sky tonight, I'm sure that you'll feel disappointed, because there's nothing that you wanna stare. You know, rain has covered the night sky. You know it before. But you are still waiting the impossibility.

And now, you are feeling tired for waiting it. You decide to leave it. You move away your sight. From this day on, you are tired to wait it. You stop. But if you know, the star which you always wanna stare is always staring at you in silence. You never realize it. If you can wait patiently for a minute, it will appears.

Now, a star is falling with its own imagination and its hopes because of those phrases. The phrases which you write after you are in silence for a long time. For this star, it is nightmare in the friday night. It is more scary than any ghosts. But you never know, and maybe you don't wanna know about it.

You run too fast. I know, you are a person who never wanna look back. But can you look back just for a minute? I won't ask you for many things. I just want you look back. Look that falling star. Look at me. Cause' I'll whisper something to you directly. But you never do that. I expect too much. So, what can I do right now? Should I stop to admire you? Stop think of you? Stop to write all about you? Stop to be a falling star?

I'll whisper all what I wanna say to you through the wind. I stare at you through the sun, moon, and exactly a star. I'll give you a shade through the rain. I express all of my feelings through the poem that I usually write.

I send you the signs, but you never catch it. I always expect that I can see you when I passed your place. I always gaze out through the car window. Hoping the traffic jam will keep me there a while longer and see you standing at the opposite. Unfortunately, I never find you there.

When my watch shows me the time. The time that usually you move away from your place. I still always expect that I can see you, even it is for a minute. It doesn't matter. And one day, God has listened to me. I saw you in front of me as I passed the gate where you are. As usual, you are riding a white horse with your gaze forward. Eirther at the time, you see me or not.

I still remember the first time we met. You gave me a piece of bread. But how foolish I am, I didn't take it. Maybe, I got so nervous. And if you want to know how happy I am at the time. We talked so much.

You said "Sorry to join with the wind."

It doesn't matter, you know. I'm really happy to meet and to know you. Honestly, I want you know that I really admire you. Hope you can feel what I feel. Hope you can realize all the signs that I send.

Wishing you are happy all the time with your new one, stARS! ^^

Jumat, 06 Februari 2015

Gerilya Sang Pujangga

Kamu sempat bilang, "Jangan menyerah". Dua kata sederhana itu menyembur saat aku tengah bercerita tentang temanmu. Lalu ku balas bilang, "Aku tak bisa sepertimu yang terus memaksakan apa yang tak bisa dipaksakan".
"Kau payah!", tandasnya.
Aku tahu aku payah, aku sadari itu. Aku tahu diri untuk melihat kenyataan. Memang harus ku akui, kamu hebat. Kamu bersikeras di tengah ketidakpastian, meski kau tahu banyak tentang segala kenyataannya.

Sebagai seorang pembaca yang baik, imajimu bercabang. Maka teruslah berjuang! Rangkai setiap harapan-harapan konyol dalam dunia fiksimu ke dalam realitas sejati. Jangan menyerah pada waktu! Jika kau terus berjuang tanpa mengenal rasanya lelah menunggu, waktu yang akan menyerah pada mu.
Seketika beberapa potong kalimat itu membuyarkan lamunanku. Memory ku berputar arah, ke masa dimana aku pernah sangat mengagumimu. Tentulah sebelum kehadiran seseorang yang ku tahu betul sosoknya, seseorang yang sangat kau gilai hingga sekarang. Tapi sebenarnya, kekagumanku padamu tak memudar, sebelum dan sesudah ada dia. Hanya saja aku tahu diri untuk itu. Aku membuang jauh rasa kagum itu. Sebab aku tak menginginkan jeda diantara kita hanya karena keegoisanku, terlebih pada dia.

Hingga tiba dimana aku merasakan hembusan angin baru yang membawa keteduhan, dan dia tidak lain juga seseorang yang kau hapal betul raut mukanya. Sayangnya, aku harus merasakan hal yang sama lagi. Aku menyerah untuk yang ke dua kalinya. Sementara kau masih bersikeras untuk berjuang.

Aku lelah untuk setiap pergolakan rasa ini. Aku lelah untuk tetap melihat semangat perjuanganmu yang kian bergejolak.
Kamu bilang itu semua perjuangan sejati?

Menunggu seseorang yang entah kapan ia akan menolehmu barang semenit. Menunggu seseorang yang selalu asyik mengobrol manja dengan pemilik hatinya yang utuh. Tidakkah kau sedikit menolehku walau itu hanya semenit? Tidakkah kau ingin mendengarku barang dua menit?
Itu bukan perjuangan sejati! Itu kebutaan sejati! Mengutip apa yang dikatakan Dee, kamu memang memilih menjadi tuna netra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang mengobati luka dengan cuka. Bukan dengan obat merah.

Mungkin, sang pujangga masih terlelap dalam tidur panjangnya. Dalam mimpi-mimpi yang ia rangkai sendiri plot-nya. Karena baginya, itu lebib dari indah, meski harus dengan mengigit lidah sendiri. Ia sadar akan hal itu, dan ia tahu itu memang tak mudah. Tapi ia tak mau berubah, ia enggan menjadi pecundang yang menyerah di tengah jalan macam diriku. Ia enggan untuk bangun. Kini ia malah seperti orang kesurupan yang tak peduli apapun di sekitarnya. Ia tak peduli meski ada siluet lain yang menghalangi pandangannya. Ia hanya ingin membangun setiap potongan mimpinya dan menggiringnya ke dunia nyata. Tapi, apa ia tidak sadar? Justru ia adalah siluet yang membayangi dua anak manusia ketika senja tengah memanja.

Terpaksa harus ku bilang, kamu egois! Membayangi mereka tanpa melihat siapa yang ada di sampingnya. Dan harus ku bilang, seseorang yang kau gilai itu juga lebih egois! Dia terus-menerus mengungkungmu dalam sangkar ketidakpastian, dalam sangkar yang dihuni oleh dia dan pemilik hatinya yang utuh. Ketika engkau meminta untuk terbang bebas, dia menahanmu. Dia tak ingin melepasmu, juga pemilik hatinya itu. Dan kau pasrah dimakan ketidakpastian, karena kau terlanjur menikmati setiap rangkaian mimpi itu.

Tak hanya itu, kini kau tak ubahnya prajurit yang terus bergerilya. Pantang menyerah, meski luka perih kau rasa di sekujur tubuhmu.

Apakah sang pujangga akan terbangun dari tidur panjangnya? Tidakkah ia merasa lelah untuk terus-menerus menjadi bayang semu?
Bangunlah..
Jangan cuma jadi sandal jepit yang hanya dipakai sesaat dan sembunyi-sembunyi. Sementara ia lebih sering memakai sepatu kemanapun ia melangkah. Kau hanya alternatif baginya.
Semoga lekas bangun.

Surat Cinta untuk Sang Pujangga yang terus bergerilya.

Rabu, 04 Februari 2015

Bintang Jatuh dan Sepotong Roti

Aku salah. Potongan-potongan perkiraan itu meleset bak anak panah yang keluar dari jalur targetnya. Dan aku...kalah.
Semua perkiraan yang sekian lama bersarang dalam otakku, kini baru menemukan celah untuk berlari.

Ku kira, engkaulah bintang jatuh itu. Kau yang datang sekelebat membawa sepotong roti yang belum sempat aku gapai. Ku kira kau bintang jatuh itu, yang hilang sekejap sebelum sebuah pengharapan melintas di otakku. Iya, ku kira kau bintang jatuh itu. Cahayamu yang ingin ku tatap lebih lama tak mampu bertahan di atas sana.

Otakku terus mencerna, meyakinkan, bahwa memang benar adanya, kau lah bintang jatuh itu. Tapi aku sadar diri. Kau berlari dengan udara, sedang aku menapak bumi. Aku tahu diri untuk terus berangan tentangmu. Aku hanya gadis tanah liat yang mengharapkan bintang jatuh menyinari malamnya yang dingin,
kosong. Gadis tanah liat yang mengharapkan partikel luar angkasa melintasi orbit taurusnya.
Kini aku benar-benar tersadar..
Malam ini, frasa itu menjelma menjadi petir yang membangunkanku dari tidur panjang dengan semua mimpi-mimpi tentang bintang jatuh.

Frasa itu...
Menghancurkan setiap perkiraan-perkiraan yang merujuk bahwa engkaulah bintang jatuh itu. Aku salah, terlebih kalah. Kau bukan bintang jatuh. Tapi aku sendiri bintang jatuh itu. Bodoh.  Yang dikira-kira itu dirimu, ternyata itu diriku sendiri. Aku yang selalu berharap menatapmu di atas sana, kini tengah menatap sosokku sendiri.

Aku bintang jatuh itu.
Kini aku melesat cepat membawa setiap kepingan-kepingan pengharapan dan perkiraanku sendiri. Ya, aku melesat cepat, sampai aku menginjak bumi dan hancur lebur. Hancur bersama perkiraan-perkiraan yang ku rangkai sendiri.
Kau bukan bintang jatuh, akulah bintang yang jatuh ke bumi setelah frasa yang kau buat beredar dalam galaksi lamunanku.

A star is fallin' with its own imagination and its hopes because of those phrases. It is nightmare in the friday night. It is more scary than any ghosts.

A love letter for my imagination stARS.