Selasa, 02 September 2014

Engkau dan Suratmu, Wi.

Katamu,
Angin tengah membodohimu.
Ia tak pernah menyampaikan lembaran-lembaran surat yang kau titipkan untuk 'dia'.
Meski engkau mengirimkannya berulang-ulang.
Katamu,
Angin tengah membohongimu.
Ia tak pernah membawa balasan surat yang sering kau tulis untuk 'dia'.
Lagi, kau menyalahkannya.
Lantas kau masih setia berbicara padanya?
Masih membiarkannya membawa surat-suratmu?
Kau masih mempercayainya, bukan?
Tapi kau terus-terusan menyalahkannya.
Ketahuilah,
Angin tak sedang membodohimu, juga membohongimu.
Dia sedang menghiburmu, Wi.
Kalau-kalau suratmu memang tak akan pernah terkirim. 

Am an alien

Aku tahu,
banyak kata yang kau rangkai untuknya
Aku terlanjur tahu,
Banyak frasa indah yang kau ciptakan untuknya.

Aku asing untukmu,
Dia penting bagimu
Walau ku lebih dulu tahu dirimu
Dan dia baru bagimu

Sadar atau tidak
Aku menyimak dan meresapi
setiap kata yang kau rangkau,
Ya, meski bukan untukku.

Ji, tetaplah berimaji
Meski bukan untukku
sebab aku takkan lelah
membaca imajimu

Terlupakan atau dilupakan?

Biasanya,
kau selalu cerita banyak
dan aku menyimak
tentang apapun yang ingin kau bagi

Biasanya,
Aku orang pertama yang selalu tahu
selalu banyak tahu
setiap cerita yang kau alami,
sebab aku terlalu menyelami

Kini semua berbeda
Tak banyak cerita yang ku ketahui
Tapi aku tetap menyimak,
walau di balik semak

Mengendap-ngendap secara perlahan
Mencari celah dan lahan
untuk sekedar mengetahui yang menghantui

Ya, semua berbeda
semua tak lagi sama
meski tetap berada
juga bergema

Iya, aku yang tahu banyak tentangmu (dulu)
tentang plot ceritamu
tentang haru biru cuacamu
sebelum ada dia..

Tergali, lagi.

Aku kerap bercerita.
Boleh dikata ini tentang derita.
Memori dua tahun lalu.
Ternyata belum berlalu.

Dua tahun lalu, aku meminta.
"Tuhan, jangan lagi Kau gali elegi ini"
Ya, sebab aku terlampau linu,
sebab aku kalah telak.

Tapi,
elegi ini tergali lagi
Memori yang dulu berapi
Kian membara lagi

Kukira elegi ini takkan tergali lagi
Sebab aku tlah merasa nyaman pada yang baru
yang ku kira takkan lagi menuai elegi
tapi nyatanya, ini tergali lagi.

Elegi yang tergali lagi
sempat meracuni otakku lagi,
untuk membenci satu kata yang selalu ku agung-agungkan.

Alunan Sebuah Persahabatan

Rintik yang cantik kian menarik
Gemriciknya bak alunan nada-nada indah
Mengiringi indahnya suara adzan maghrib
yang sejak tadi kami tunggu

Kami bersebelas,
serupa gelas-gelas
yang siap untuk dituangi air
bahkan es shanghai sekalipun.

Tadi, kami berjalan di sebuah gurun
Lantas kini temukan oase dalam alunan adzan maghrib
Tengadah tangan kami usapkan ke muka,
sebagai bentuk rasa syukur.

Rintik yang cantik di bulan Juni
membuat kami untuk kembali
dalam suatu lorong yang bernama nostalgia

Rintik yang cantik
kian menggelitik
terlihat wajah-wajah lama dengan cerita berbeda
tapi tetap kekonyolannya yang merenda

Rindu,
satu kata yang kian beradu sejak lama
Kini melebur sudah
dalam lorong nostalgia.

Rintik yang cantik di tengah malam yang hampir larut
kian terangkai menjadi nada-nada indah
dalam alunan sebuah persahabatan. 

Juli, 2014


Yang Katanya Khayalanmu

Untuk sahabatku, Ajeng.

Jeng, kau selalu bercerita.
Tentang dia,
yang nyata, tapi kita anggap semu
Ya, sebab dia tak terlihat disampingmu

Lewat ceritamu,
Kita tahu satu hal,
Dia sungguh-sungguh padamu,
Meski kami anggap dia semu.

Dia pejuang, kami pikir.
Dia nyata, kami mangkir.
Tapi yang kami tahu,
dia sungguh-sungguh padamu.

Sayang, kau sempat kalap, Jeng.
Entah kau lelah atau lengah.
Dengan gesitnya kau berkemas.
Lalu singgah di gardu listrik.

Di gardu listrik yang kau anggap menarik
Kau rasakan kenyamanan, yang baru
Meski yang semu tetap memanggil,
kau hiraukan, tapi dia tak patah arang.
Sebab yang semu adalah pejuang.

Kau terlalu nyaman di gardu listrik, Jeng.
hingga tak sadar mendung tlah mendayung,
menuju lautan kenyamananmu.

Mendung tlah bermetamorfosis menjadi hujan.
Kau kedinginan, bukan?
Ya, kehujanan di gardu listrik.
Tapi yang semu datang melirik,
memayungimu.

Ku bilang "Jangan lagi kau singgah di sana, Jeng!"
Mungkin, jika kau tetap bertengger di sana,
selain kehujanan, boleh jadi kau disengat olehnya.

Untungnya, yang semu gesit.
Memayungimu, menjemputmu di tengah derasnya hujan.
Hingga kau sadar
yang baru takkan seperti yang lama,
pun jika itu lebih menakjubkan.

Berlama-lama lah dalam kesemuanmu, Jeng.
Dia sungguh-sungguh
Sebab yang semu adalah petangguh.

Senin, 01 September 2014

Eji dan Imaji

Ji, kau tahu?
Aku mengagumimu,
mengagumi tulisanmu,
juga lisanmu

Kata-kata yang terangkai dari pikirmu, dari bibirmu,
kini merasuk dalam poros otakku
mengendap..

Aku sempat kalap
dibuat terlelap,
tapi gelap telah usai
sebab engkau sempat beriku perisai

Dalam otakmu
tersimpan milyaran kata yang saban waktu
kau tuangkan menjadi frasa-frasa yang indah

Jika kau ingin tahu,
tapi sayang kau tak mau tahu
Aku takjub padamu, Ji.
Pada imajimu.