Oleh: Nita Hardika
5 Mei 2014
Saya
setuju dengan pendapat-pendapat yang termuat dalam tulisan yang berjudul Free Stress Education mengenai pola
didik anak dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Sebagaimana yang telah kita ketahui dan alami bahwa dalam dunia
pendidikan Indonesia, peserta didik dituntut untuk mengikuti setiap program
pengajaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam kurikulum. Seperti yang terlihat dalam tulisan Mama Adeba dimana anaknya yang baru
duduk di bangku taman kanak-kanak dihadapkan pada berbagai materi pelajaran
yang membutuhkan konsentrasi tinggi, seperti membaca, menulis, berhitung,
hafalan Al Qur’an, dan lain-lain. Belum
lagi di luar akademiknya, seperti bermain alat musik, menyanyi, dan sebagainya.
Memang bagus adanya, anak dituntut untuk
menguasai berbagai hal sejak usia dini, tapi jika kita pikir baik-baik hal itu
sangat bertentangan dengan hakikat tumbuh kembang anak sewajarnya. Anak usia seperti itu harusnya dibebaskan
untuk memilih apa yang menjadi kesukaannya. Sehingga kesukaannya tersebut bisa menjadi
kelebihan yang ia miliki, orangtua harus mendukung dan mengembangkan apa yang
menjadi potensi anaknya, dan selanjutnya memfasilitasi untuk menumbuhkembangkan
potensi yang ada dalam diri anaknya. Sehingga
anak bisa dengan senang hati mempelajari apa yang menjadi kesukaannya
tersebut. Bukannya memaksa anak untuk melahap sesuatu yang tidak disukainya, karena
hal itu bisa menghambat kebebasannya dalam berekspresi yang mengakibatkan anak
malas pergi ke sekolah. Hal itu harus
dimaklumi karena anak usia dini belum memahami betul untuk apa ia mempelajari
hal-hal yang hanya akan membuatnya stress.
Itu disebabkan karena pola hidup mereka yang masih senang dengan
permainan.
Hal
semacam ini mungkin juga dialami oleh anak-anak lainnya di Indonesia, termasuk
oleh kedua adik saya. Adik saya baru
duduk di bangku sekolah dasar, yang satu kelas 3 SD dan yang satunya lagi kelas
4 SD. Setiap hari mereka berdua pulang
dari sekolah sekitar pukul 12.00, kemudian dilanjut lagi mengikuti sekolah
PAUD. Seperti yang telah kita ketahui,
sekarang pemerintah mewajibkan setiap anak untuk mengikuti jenjang PAUD
terlebih dahulu, karena ijazah PAUD berguna untuk melanjutkan sekolah. Setiap anak yang akan melanjutkan jenjang
sekolah ke SMP harus menyertakan ijazah PAUD sebagai bukti kelulusan bahwa ia
telah mampu membaca Al Qur’an. Hal itu
dikarenakan akhir-akhir ini banyak anak yang tidak bisa membaca Al Qur’an. Memang hal itu bagus adanya, namun di sisi
lain juga membuat anak terbebani. Kadang-kadang
selepas pulang sekolah ia mengeluh dengan berbagai alasan. Mulai dari capek, banyak PR, banyak hafalan.
Belum lagi di sekolah PAUD-nya sama seperti sekolah pada umumnya. Seringkali waktu ulangan umumnya yang
bersamaan dengan ulangan umum di sekolah PAUD.
Mereka mengeluh dengan materi-materi pelajaran yang harus dihafal, belum
lagi di sekolah PAUD ditambah hafalan hadist,
bahasa arab, dan sebagainya. Kadang kala
mereka tidak sempat istirahat atau makan, karena harus langsung berangkat
sekolah PAUD. Selain membebankan anak,
program ini juga sedikit membebankan orangtua, karena di dunia ini tidak ada
yang gratis, sudah barang tentu sekolah PAUD pun membutuhkan biaya sama halnya
seperti sekolah formal lainnya, mulai dari biaya bulanan, biaya seragam, sampai
ongkos sehari-hari. Katanya pemerintah
ingin mensejahterakan rakyatnya, tapi di sisi lain malah menambah beban
rakyatnya.
Seperti
halnya dalam tulisan Stress Free
Education, bahwa pendidikan dengan tingkat stress tinggi tidak hanya
dialami oleh anak usia dini, tetapi juga dialami hingga perguruan tinggi. Bayangkan bagaimana stressnya anak-anak saat
akan menghadapi ujian nasional. Tentunya
itu pernah saya alami juga. Dua tahun
yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMA, saya merasa stress ketika
akan menghadapi UN. Bayangkan saja,
materi yang akan diujikan adalah semua materi-materi dari kelas 1-3. Ketika sedang mengikuti pemantapan, guru
matematika saya memberitahukan serangkaian materi yang akan diujikan. Dalam waktu tiga bulan untuk pemantapan, kita
harus kembali melahap materi-materi yang jumlahnya bukan satu atau dua, tapi
banyak! Disini pada waktu itu kami selaku pelajar yang tengah gundah menghadapi UN dibuat cemas, mengingat
adanya perbedaan materi yang diberikan kepada seluruh peserta didik di
Indonesia, belum lagi perbedaan fasilitas penunjang pendidikannya. Selama tiga tahun menimba ilmu di SMP/SMA
hanya ditentukan dalam beberapa hari saja dan melalui beberapa mata
pelajaran. Tidak jarang setelah itu kita
tidak mendapatkan apa-apa, yang ada hanya bagaiamana caranya berkompetensi
untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Sehingga
ilmu tidak menjadi hal yang sangat diperhatikan jika yang menjadi tolak ukurnya
adalah nilai tertinggi dan lulus UN. Tetapi yang
ada hanya mendidik peserta didik untuk mencari jalan pintas dalam menyelasaikan
permasalahan yang ada apapun itu caranya.
Harusnya masyarakat Indonesia yang banyak ini bisa mengembangkan
potensi-potensi yang dimilikinya dengan didukung oleh program-program
pemerintah yang jelas bukan membebaninya dengan serangkaian acuan yang harus
dicapai, tetapi bagaimana dia bisa mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya
sehingga menjadi keterampilan yang bisa diaplikasikan untuk kepentingan orang
banyak. Bukannya malah memaksa anak
untuk mengikuti serangkaian kebijakan yang malah membuat stress anak, jadi
kesannya kita hanya dijadikan korban kebijakan-kebijakan para penguasa.
Saya
setuju dengan tulisan dari Mama Adeba
bahwa seharusnya anak-anak kita mendapatkan pendidikan yang mampu menggali
potensi dan bukan malah membebaninya dengan serangkaian kurikulum yang
berubah-ubah. Sistem pendidikan di
Indonesia hanya membebani peserta didiknya dengan teori-teori yang kesannya
harus dihafal karena akan muncul dalam ujian. Harusnya peserta didik diajak untuk lebih
berpikir kritis dan mampu mengembangkan teori-teori tersebut, sehingga selanjutnya
ia mampu menerapkan ilmu yang didapatnya.
Pola
didik mainstream yang diterapkan oleh
sekolah-sekolah di Indonesia yang menuntut untuk memaksimalkan kecakapan dan
kemampuan kognitif ini memang membuat stress peserta didik, terutama anak usia
dini, tidak hanya itu, orangtua juga dibuat stress oleh ini. Banyak orangtua yang memilih untuk memberikan
pelajaran tambahan untuk anaknya dengan memasukkannya ke berbagai tempat les
agar nilai anaknya lebih tinggi dari yang lain.
Hal ini tidak jarang malah
menambah stress anak. Sudah tahu bahwa
di sekolah ia dijejali oleh berbagai materi pelajaran dan ditambah lagi ia
harus mengikuti les ini itu. Hal ini
dimaksudkan karena orangtua tidak ingin melihat nilai-nilai merah dalam raport
anaknya atau bahkan sampai tidak lulus ujian. Telah kita ketahui bahwa kemampuan kognitif
anak di Indonesia dipresentasikan oleh nilai-nilai raport atau ujian sekolah. Padahal ada hal yang lebih penting dari
sekedar memberikan pendidikan untuk memaksimalkan kemampuan kognitfinya, yaitu
pendidikan karakter. Sepintar-pintarnya
orang apabila tidak dibarengi oleh karakter yang baik maka sama saja tidak ada
apa-apanya. Maka dari itu, pendidikan
karakter ini sangat penting sebagai penyeimbang kecakapan kognitif. Apa jadinya kecakapan kognitif tanpa dibarengi
pendidikan karakter? Seperti yang tengah marak di Indonesia akhir-akhir
ini. Banyaknya para petinggi negara yang
terlibat dalam kasus korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar