Senin, 01 September 2014

Fenomena Pola Didik Anak dalam Dunia Pendidikan di Indonesia (1st Writing Task)


Oleh: Nita Hardika
5 Mei 2014
Saya setuju dengan pendapat-pendapat yang termuat dalam tulisan yang berjudul Free Stress Education mengenai pola didik anak dalam dunia pendidikan di Indonesia.  Sebagaimana yang telah kita ketahui dan alami bahwa dalam dunia pendidikan Indonesia, peserta didik dituntut untuk mengikuti setiap program pengajaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam kurikulum.  Seperti yang terlihat dalam tulisan Mama Adeba dimana anaknya yang baru duduk di bangku taman kanak-kanak dihadapkan pada berbagai materi pelajaran yang membutuhkan konsentrasi tinggi, seperti membaca, menulis, berhitung, hafalan Al Qur’an, dan lain-lain.  Belum lagi di luar akademiknya, seperti bermain alat musik, menyanyi, dan sebagainya.  Memang bagus adanya, anak dituntut untuk menguasai berbagai hal sejak usia dini, tapi jika kita pikir baik-baik hal itu sangat bertentangan dengan hakikat tumbuh kembang anak sewajarnya.  Anak usia seperti itu harusnya dibebaskan untuk memilih apa yang menjadi kesukaannya.  Sehingga kesukaannya tersebut bisa menjadi kelebihan yang ia miliki, orangtua harus mendukung dan mengembangkan apa yang menjadi potensi anaknya, dan selanjutnya memfasilitasi untuk menumbuhkembangkan potensi yang ada dalam diri anaknya.  Sehingga anak bisa dengan senang hati mempelajari apa yang menjadi kesukaannya tersebut.  Bukannya memaksa anak untuk melahap sesuatu yang tidak disukainya, karena hal itu bisa menghambat kebebasannya dalam berekspresi yang mengakibatkan anak malas pergi ke sekolah.  Hal itu harus dimaklumi karena anak usia dini belum memahami betul untuk apa ia mempelajari hal-hal yang hanya akan membuatnya stress.  Itu disebabkan karena pola hidup mereka yang masih senang dengan permainan.
Hal semacam ini mungkin juga dialami oleh anak-anak lainnya di Indonesia, termasuk oleh kedua adik saya.  Adik saya baru duduk di bangku sekolah dasar, yang satu kelas 3 SD dan yang satunya lagi kelas 4 SD.  Setiap hari mereka berdua pulang dari sekolah sekitar pukul 12.00, kemudian dilanjut lagi mengikuti sekolah PAUD.  Seperti yang telah kita ketahui, sekarang pemerintah mewajibkan setiap anak untuk mengikuti jenjang PAUD terlebih dahulu, karena ijazah PAUD berguna untuk melanjutkan sekolah.  Setiap anak yang akan melanjutkan jenjang sekolah ke SMP harus menyertakan ijazah PAUD sebagai bukti kelulusan bahwa ia telah mampu membaca Al Qur’an.  Hal itu dikarenakan akhir-akhir ini banyak anak yang tidak bisa membaca Al Qur’an.  Memang hal itu bagus adanya, namun di sisi lain juga membuat anak terbebani.  Kadang-kadang selepas pulang sekolah ia mengeluh dengan berbagai alasan.  Mulai dari capek, banyak PR, banyak hafalan. Belum lagi di sekolah PAUD-nya sama seperti sekolah pada umumnya.  Seringkali waktu ulangan umumnya yang bersamaan dengan ulangan umum di sekolah PAUD.  Mereka mengeluh dengan materi-materi pelajaran yang harus dihafal, belum lagi di sekolah PAUD ditambah hafalan hadist, bahasa arab, dan sebagainya.  Kadang kala mereka tidak sempat istirahat atau makan, karena harus langsung berangkat sekolah PAUD.  Selain membebankan anak, program ini juga sedikit membebankan orangtua, karena di dunia ini tidak ada yang gratis, sudah barang tentu sekolah PAUD pun membutuhkan biaya sama halnya seperti sekolah formal lainnya, mulai dari biaya bulanan, biaya seragam, sampai ongkos sehari-hari.  Katanya pemerintah ingin mensejahterakan rakyatnya, tapi di sisi lain malah menambah beban rakyatnya.     
Seperti halnya dalam tulisan Stress Free Education, bahwa pendidikan dengan tingkat stress tinggi tidak hanya dialami oleh anak usia dini, tetapi juga dialami hingga perguruan tinggi.  Bayangkan bagaimana stressnya anak-anak saat akan menghadapi ujian nasional.  Tentunya itu pernah saya alami juga.  Dua tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMA, saya merasa stress ketika akan menghadapi UN.  Bayangkan saja, materi yang akan diujikan adalah semua materi-materi dari kelas 1-3.  Ketika sedang mengikuti pemantapan, guru matematika saya memberitahukan serangkaian materi yang akan diujikan.  Dalam waktu tiga bulan untuk pemantapan,  kita harus kembali melahap materi-materi yang jumlahnya bukan satu atau dua, tapi banyak! Disini pada waktu itu kami selaku pelajar yang tengah gundah menghadapi UN dibuat cemas, mengingat adanya perbedaan materi yang diberikan kepada seluruh peserta didik di Indonesia, belum lagi perbedaan fasilitas penunjang pendidikannya.  Selama tiga tahun menimba ilmu di SMP/SMA hanya ditentukan dalam beberapa hari saja dan melalui beberapa mata pelajaran.  Tidak jarang setelah itu kita tidak mendapatkan apa-apa, yang ada hanya bagaiamana caranya berkompetensi untuk mendapatkan nilai yang tinggi.  Sehingga ilmu tidak menjadi hal yang sangat diperhatikan jika yang menjadi tolak ukurnya adalah nilai tertinggi dan lulus UN. Tetapi yang ada hanya mendidik peserta didik untuk mencari jalan pintas dalam menyelasaikan permasalahan yang ada apapun itu caranya.  Harusnya masyarakat Indonesia yang banyak ini bisa mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya dengan didukung oleh program-program pemerintah yang jelas bukan membebaninya dengan serangkaian acuan yang harus dicapai, tetapi bagaimana dia bisa mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya sehingga menjadi keterampilan yang bisa diaplikasikan untuk kepentingan orang banyak.  Bukannya malah memaksa anak untuk mengikuti serangkaian kebijakan yang malah membuat stress anak, jadi kesannya kita hanya dijadikan korban kebijakan-kebijakan para penguasa.
Saya setuju dengan tulisan dari Mama Adeba bahwa seharusnya anak-anak kita mendapatkan pendidikan yang mampu menggali potensi dan bukan malah membebaninya dengan serangkaian kurikulum yang berubah-ubah.  Sistem pendidikan di Indonesia hanya membebani peserta didiknya dengan teori-teori yang kesannya harus dihafal karena akan muncul dalam ujian.  Harusnya peserta didik diajak untuk lebih berpikir kritis dan mampu mengembangkan teori-teori tersebut, sehingga selanjutnya ia mampu menerapkan ilmu yang didapatnya.
Pola didik mainstream yang diterapkan oleh sekolah-sekolah di Indonesia yang menuntut untuk memaksimalkan kecakapan dan kemampuan kognitif ini memang membuat stress peserta didik, terutama anak usia dini, tidak hanya itu, orangtua juga dibuat stress oleh ini.  Banyak orangtua yang memilih untuk memberikan pelajaran tambahan untuk anaknya dengan memasukkannya ke berbagai tempat les agar nilai anaknya lebih tinggi dari yang lain.   Hal ini tidak jarang malah menambah stress anak.  Sudah tahu bahwa di sekolah ia dijejali oleh berbagai materi pelajaran dan ditambah lagi ia harus mengikuti les ini itu.  Hal ini dimaksudkan karena orangtua tidak ingin melihat nilai-nilai merah dalam raport anaknya atau bahkan sampai tidak lulus ujian.  Telah kita ketahui bahwa kemampuan kognitif anak di Indonesia dipresentasikan oleh nilai-nilai raport atau ujian sekolah.  Padahal ada hal yang lebih penting dari sekedar memberikan pendidikan untuk memaksimalkan kemampuan kognitfinya, yaitu pendidikan karakter.  Sepintar-pintarnya orang apabila tidak dibarengi oleh karakter yang baik maka sama saja tidak ada apa-apanya.  Maka dari itu, pendidikan karakter ini sangat penting sebagai penyeimbang kecakapan kognitif.  Apa jadinya kecakapan kognitif tanpa dibarengi pendidikan karakter? Seperti yang tengah marak di Indonesia akhir-akhir ini.  Banyaknya para petinggi negara yang terlibat dalam kasus korupsi.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar